Valentinesdays14 - Tanggal 14 Februari mungkin sama saja dengan hari-hari lain di bulan Februari. Namun, bagi sebagian orang—khususnya remaja dan anak muda hari tersebut tak pernah tertinggal dari pesta dan perayaan. Mereka lazim menyebutnya hari Valentine dan memaknainya sebagai hari “Kasih Sayang”. Ibarat sebuah hari raya, perayaan Valentine selalu ditandai oleh berbagai tradisi dan ritual yang khas.
Nuansa hati dan warna pink marak kita jumpai dimana-mana. Bila bertanya kepada sebagian dari mereka, mengapa merayakan hari Valentine ? jawabannya cukup klise, “untuk menunjukkan rasa kasih sayang kita kepada orang yang dikasihi”. Meski tak sedikit dari mereka yang merayakan mungkin tak pernah menelisik sejarah Valentine lebih dalam. Bagi sepasang muda-mudi Hari Valentine adalah momen penting yang tak boleh terlewatkan begitu saja.
Bila ditinjau dari berbagai literatur tentang asal muasal dan latar belakang sejarah perayaan hari Valentine mungkin terdapat banyak versi. Tak ada yang pasti versi mana yang benar. Namun yang pasti hari Valentine kini telah menjadi gejala budaya yang mengglobal ke hampir seluruh penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia.
Dari kota megapolitan hingga ke pelosok pedesaan. Perayaannya telah menjangkiti alam bawah sadar kebanyakan remaja dan anak muda. Seolah ada kewajiban yang ditinggalkan bila hari Valentine tersebut berlalu begitu saja tanpa ada perayaan.
Dari budaya inilah kemudian, mendorong berbagai industri untuk menarik kawula muda agar ikut terlibat dalam ritual-ritual perayaan menyambut hari Valentine. Melalui film salah satunya—bergenre romantis dan kisah berlatar valentine— berbagai praktik dan tradisi Hari Valentine dicontohkan kepada para remaja dan anak muda.
Cara inilah yang banyak ditiru untuk menunjukkan rasa kasih sayang dengan ritual konsumerisme dan penyaluran hasrat (baca: Hari KASIH SAYANG). Dari pemberian kartu ucapan, bingkisan kado, cokelat, bunga, hingga perhiasan. Kencan, makan malam romantis, hingga pesta hura-hura melengkapi perayaannya.
Seperti yang dilansir dari laman wikipedia.org, budaya tradisi pemberian kartu ucapan ini telah berlangsung sejak lama. Sejak tahun 1847, adalah Esther A. Howland (1828-1904) yang berasal dari Massachussets, Amerika Serikat. Olehnya kartu Valentine pertama diproduksi secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu Valentine dikirimkan per tahun.
Hal ini menjadikan Valentine sebagai hari raya terbesar kedua setelah Natal di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan. Hingga kini budaya dan tradisi Valentine senantiasa terus berkembang. Dengan disusul oleh semakin gencarnya promosi berbagai produk bernuansa Valentine yang menjadikannya sebagai perayaan yang berlandaskan pada gaya hidup (lifestyle).
Ekonomi “Bujuk-Rayu”
Bagi pasar—yang digerakkan oleh budaya konsumerisme— halal dan haram, suku, agama, ras ataupun identitas anda tak lagi jadi soal. Terpenting adalah anda menjadi konsumen yang baik. Perayaan Hari Valentine salah satunya. Apapun dalih yang melekat dari hari Valentine, kasih sayang, cinta kasih, berbagi dan sebagainya. Bagi konsumerisme itu hanyalah satu jalan menuju ritus paling agung baginya; belanja, belanja, dan belanja.
Kondisi kehidupan di dalam masyarakat konsumer, menurut Yasraf A. Piliang (1995), adalah sebuah kondisi yang didalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu—kekayaan, kekuasaan, s3ksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, dan pencerahan spiritual.
Rayuan hari ‘kasih sayang’ memang merupakan godaan luar biasa khususnya bagi remaja dan anak muda. Dengan mendorong hasrat konsumsi dan s3ksualitas bukanlah hal yang sulit di tengah relasi sosial dan ekonomi yang semakin kapitalistik. Menjelang perayaannya tahun ini, awal Februari 2015, kita dihebohkan oleh berita yang dilansir oleh beberapa media online dan sedang ramai di media sosial tentang paket hadiah cokelat yang disertai dengan kondom.
Seorang pemilik akun Facebook, Bejo Paijo, warga Jawa Timur, menemukan produk cokelat dan kondom dijual satu paket di sejumlah minimarket di Jawa Timur—tak menutup kemungkinan juga ada di daerah lain. Dua batang cokelat Silverqueen dan kondom Fiesta dikemas rapi dalam bungkus plastik dan diikat pita merah.
Dari fenomena tersebut, bahwa Valentine lengkap dengan atribut-atributnya menunjukkan apa yang disebut oleh Jean Francois Lyotard (dikutip dari Yasraf A. Piliang) sebagai ekonomi libido. Menurutnya, ekonomi libido merupakan sebuah sistem ekonomi yang didalamnya apapun diproduksi. Sebuah tatanan yang melepaskan dirinya dari kriteria moral/amoral, baik/buruk, nilai guna/nilai tukar: manfaatkanlah potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam dirimu tanpa takut akan tabu dan adat; gunakan dan pertontonkan sebebas-bebasnya keindahan-keindahan penampilan, kepribadian, wajah dan tubuhmu untuk membangkitkan gairah perputaran modal.
Seperti itulah yang sedang kita saksikan dalam praktik perayaan hari Valentine. Mulai dari restoran dan rumah makan, hotel dan penginapan, pusat perbelanjaan menawarkan bujuk-rayu kepada hasrat konsumsi. Promosi diskon dan potongan harga dengan kemasan khas Valentine menjadi penampakan yang lazim di mata kita. Di Indonesia entah berapa banyak uang yang dihamburkan untuk memenuhi hasrat dalam melaksanakan ritus konsumsi oleh masyarakatnya di hari Valentine.
Kasih sayang adalah sesuatu yang lahir dan hadir secara natural sebagai fitrah dari dalam diri manusia. Sementara perayaan Hari Valentine hanya menunjukkan penyaluran hasrat tanpa batas pada aktivitas konsumsi dan hasrat s3ksualitas semata. Dengan demikian rayuan hari “kasih sayang” hanya akan menjerumuskan kita—khususnya remaja dan anak muda— kepada ritus simbolik yang berdalih retoris untuk menunjukkan rasa kasih sayang.
Rayuan-rayuan yang beroperasi di Hari Valentine tersebut menurut Baudrillard, hadir melalui pengosongan-pengosongan makna dan pesan—dalam hal ini makna kasih sayang. Maka jangan heran bila semakin tahun perayaan hari Valentine semakin meriah dan semakin mempercantik diri untuk melirik orang-orang yang belum tergoda oleh rayuannya. Karena rayuan tersebut bukan untuk menyampaikan pesan dan makna kasih sayang, melainkan memunculkan keterpesonaan dan ketergiuran pada gelora nafsu: nafsu s3ksual dan nafsu belanja.
Padahal di sekeliling kita, tidak sedikit golongan yang kurang beruntung, masyarakat miskin kota dan anak terlantar yang membutuhkan uluran tangan, perhatian, empati, kasih sayang, dan bantuan secara materil maupun non-materil. Apalagi kehidupan mereka semakin tersingkir dan disingkirkan oleh struktur sosial yang sangat timpang. Oleh karena itu, tetaplah menebarkan cinta dan kasih sayang kepada sesama tanpa harus tertipu oleh bujuk rayu konsumerisme atas dalih “kasih sayang”.(*)
Makassar, 09 Februari 2015 Oleh: Muh. Fardan N Mahasiswa UIN Alauddin, bergiat di HMI dan Rumah Buku Carabaca.
0 komentar:
Posting Komentar